Persahabatan dan Cinta
Judul Cerpen Persahabatan dan Cinta
Cerpen Karangan: Eunike Fany Febriliany
Kategori: Cerpen Cinta Segitiga, Cerpen Persahabatan
Lolos moderasi pada: 1 December 2016
Cerpen Karangan: Eunike Fany Febriliany
Kategori: Cerpen Cinta Segitiga, Cerpen Persahabatan
Lolos moderasi pada: 1 December 2016
Rintik hujan membasahi sore ini. Tawa kami bertiga mewarnai dinginnya senja.
“Hahaha! Aku tahu dong, siapa dulu akuuu..” kata Elin.
“Gayamu.” kataku mengetik tugas di laptop.
“Sepertinya seru ini kerkol kalian…” kata Mama sambil membawa tiga cangkir coklat panas untuk kami. Ditambah kue bolu yang baru saja dibeli Mba Nisa di toko sebelah.
“waah, makasih lho tante. Ngga usah repot-repot.” kata Jey.
“nggak repot kok, Jey.. Tante tinggal ya!”
“uuh, coklat panas di saat hujan yang tambah deres ini pas banget!” Kata Jey mengambil satu cangkir coklat panas itu.
“dasar rakus loe, Jey!” kata Elin.
“sudah, sudah. Kalo ribut terus tugas ini nggak bakalan kelar, lho!” kataku.
“Hahaha! Aku tahu dong, siapa dulu akuuu..” kata Elin.
“Gayamu.” kataku mengetik tugas di laptop.
“Sepertinya seru ini kerkol kalian…” kata Mama sambil membawa tiga cangkir coklat panas untuk kami. Ditambah kue bolu yang baru saja dibeli Mba Nisa di toko sebelah.
“waah, makasih lho tante. Ngga usah repot-repot.” kata Jey.
“nggak repot kok, Jey.. Tante tinggal ya!”
“uuh, coklat panas di saat hujan yang tambah deres ini pas banget!” Kata Jey mengambil satu cangkir coklat panas itu.
“dasar rakus loe, Jey!” kata Elin.
“sudah, sudah. Kalo ribut terus tugas ini nggak bakalan kelar, lho!” kataku.
—
Aku terdiam. Ya, seakan ada lem yang merekatkan kakiku dengan lantai. Aku melihat sosok pria berperawakan tinggi, memakai seragam sekolah lain menggandeng Elin di tengah ramainya atrium sekolah saat jam pulang sekolah ini. Apaan ini?
Aku berpura-pura menemui Jey, yang juga ada di situ. Masa Elin nggak sadar siapa pria itu??
“Jey, ini tadi ulanganmu. Tadi aku cariin ternyata kamu udah pulang.” kataku.
“Punyaku nggak ada, Chyn?” aku mengambil juga kertas milik Elin dan menatapnya dengan sinis.
“Eeh, kayaknya ada yang kobongan…” kata Jey. Aku menarik tangan Jey.
“ngapain Elin sama Rendra?” kataku di depan ruang mandarin.
“Aku sendiri juga nggak tahu kapan ini terjadi, tapi yang jelas mereka udah pacaran.”
“kampret! Beraninya Elin nikung aku? Udah tahu kan dia kalau aku suka Rendra?” teriakku.
“aku juga bingung, Chyn…”
“kau saja bingung, apalagi aku. Bingung apakah akan mengakhiri persahabatan yang sudah kita jalin dari kelas 1 SD atau membiarkan aku melalui setiap hari dengan tikungan tajam darinya?”
“Chyntia, lha kalau kau mengakhiri persabatan, aku juga tak lagi sahabatmu?” tanya Jey.
“nggak, Jey, kamu tetap sahabatku. Hanya Elin yang bukan sahabatku lagi.” aku menatap ke langit kelabu siang ini.
“Maaf!” kata gadis yang berseragamkan sama dengan Rendra.
“Fiendra?” kataku.
“Tia?” katanya juga. “maaf banget aku nggak sengaja”
Fiendra adalah kembaran Rendra. Fiendra juga sudah lama jadi teman curhatku. Ayah mereka adalah teman lama Ibuku. Katanya sih mantan pacarnya. Wkwk..
“Fien, masih lama kamu di sini?”
“Ya lumayanlah… Memang kenapa, Chyn?” tanya Fiendra padaku.
“Aku mau cerita sesuatu padamu, Fien…”
“Cerita tentang apa?” tanyanya. Aku menggandengnya ke arah tangga.
“Aku boleh ikut?” tanya Jey yang lugu.
“Gimana ya?” aku dan Fiendra saling pandang kemudian tertawa. “Boleh lah pastinyaa..”
“Gini lho, Fien…” aku duduk menatap Fiendra. “Gimana perasaaanmu kalau kamu ditikung sahabat sendiri?”
“Ditikung? Ya jelas aja aku marah dan mengkakhiri persahabatan aku dengannya. Berani banget dia manfaatin persahabatan itu.” Jawab Fiendra. “Sebentar. Sahabat? Nikung? Maksudmu yang nikung kamu itu Elin?”
“Iyalah, selain aku pasti Elin dong, Fien, sahabatnya Chyntia…”
“Sek-sek-sek… Nikung? Setahuku pacarnya Elin itu Rendra, kembaranku…” kata Fiendra. “Jangan-jangan kau suka Rendra?”
Aku terdiam. Tertunduk. Tak tahu harus berkata apa. Aku lupa kalau Fiendra belum ku beritahu bahwa aku sudah lama memendam rasa pada Rendra.
Aku berpura-pura menemui Jey, yang juga ada di situ. Masa Elin nggak sadar siapa pria itu??
“Jey, ini tadi ulanganmu. Tadi aku cariin ternyata kamu udah pulang.” kataku.
“Punyaku nggak ada, Chyn?” aku mengambil juga kertas milik Elin dan menatapnya dengan sinis.
“Eeh, kayaknya ada yang kobongan…” kata Jey. Aku menarik tangan Jey.
“ngapain Elin sama Rendra?” kataku di depan ruang mandarin.
“Aku sendiri juga nggak tahu kapan ini terjadi, tapi yang jelas mereka udah pacaran.”
“kampret! Beraninya Elin nikung aku? Udah tahu kan dia kalau aku suka Rendra?” teriakku.
“aku juga bingung, Chyn…”
“kau saja bingung, apalagi aku. Bingung apakah akan mengakhiri persahabatan yang sudah kita jalin dari kelas 1 SD atau membiarkan aku melalui setiap hari dengan tikungan tajam darinya?”
“Chyntia, lha kalau kau mengakhiri persabatan, aku juga tak lagi sahabatmu?” tanya Jey.
“nggak, Jey, kamu tetap sahabatku. Hanya Elin yang bukan sahabatku lagi.” aku menatap ke langit kelabu siang ini.
“Maaf!” kata gadis yang berseragamkan sama dengan Rendra.
“Fiendra?” kataku.
“Tia?” katanya juga. “maaf banget aku nggak sengaja”
Fiendra adalah kembaran Rendra. Fiendra juga sudah lama jadi teman curhatku. Ayah mereka adalah teman lama Ibuku. Katanya sih mantan pacarnya. Wkwk..
“Fien, masih lama kamu di sini?”
“Ya lumayanlah… Memang kenapa, Chyn?” tanya Fiendra padaku.
“Aku mau cerita sesuatu padamu, Fien…”
“Cerita tentang apa?” tanyanya. Aku menggandengnya ke arah tangga.
“Aku boleh ikut?” tanya Jey yang lugu.
“Gimana ya?” aku dan Fiendra saling pandang kemudian tertawa. “Boleh lah pastinyaa..”
“Gini lho, Fien…” aku duduk menatap Fiendra. “Gimana perasaaanmu kalau kamu ditikung sahabat sendiri?”
“Ditikung? Ya jelas aja aku marah dan mengkakhiri persahabatan aku dengannya. Berani banget dia manfaatin persahabatan itu.” Jawab Fiendra. “Sebentar. Sahabat? Nikung? Maksudmu yang nikung kamu itu Elin?”
“Iyalah, selain aku pasti Elin dong, Fien, sahabatnya Chyntia…”
“Sek-sek-sek… Nikung? Setahuku pacarnya Elin itu Rendra, kembaranku…” kata Fiendra. “Jangan-jangan kau suka Rendra?”
Aku terdiam. Tertunduk. Tak tahu harus berkata apa. Aku lupa kalau Fiendra belum ku beritahu bahwa aku sudah lama memendam rasa pada Rendra.
“Halo? Chyntia Kristi Elisshabethla Anugraheni Tan?” katanya. “Kau naksir Rendra?”
“ehm..”
“Jey, bener kan omonganku?” tanya nya pada Jey.
“Iya… Dah lama lagi Chyntia naksir Rendra… kudet kau Fien…”
“Astaga, Chyntia…” Katanya lagi. “Kayaknya kembaranku banyak fansnya deh…”
“Tuuh lihat.. kau bakal punya banyak saingan…” kata Jey.
“Fiendra?” panggil Rendra berdiri di depan kami. “Eh ada Jey daaann Chyntia juga…”
“Ren, sekarang aku tanya deh, kayaknya kamu pernah bilang punya cinta pertama dan kau bilang kalau cintamu itu bertepuk sebelah tangan. Iya kan?” tanya Fiendra.
“Lhah, kok tanya nya gitu?” muka Rendra memerah.
“Iya kan? Siapa cewek itu? Aku ingin tahu aja…” muka Rendra makin merah.
“Cieeh Rendra…” Kata Jey.
“Giliran Fiendra nanya seperti itu kau malah tersipu malu.” Kataku yang pura-pura tak ada perasaan apapun padanya.
“Maaf, Jey, Chyn…” kata Rendra. “Ikut aku sebentar Fien!”
“Ada apa harus menghindar dari mereka? Apa jangan-jangan first lovemu itu…” kata Fiendra.
“Ren! Aku cari ternyata kau disini…” kata Elin.
“Bentar ya, Lin.” Kata nya. “Ya, jelas ada hubungannya dengan mereka. Nanti saja di rumah.”
“Oke aku paham…”
“Ren, ini lho aku bawakan kamu masakan mamaku. Cobain deh pasti enak!” kata Elin sembari berjalan bersama Rendra dan Fiendra ke tangga tempatku dan Jey.
“Oh ya.” Katanya yang mulai mendingin.
Aku jadi curiga ada sesuatu yang dikatakan Fiendra pada Rendra. Aku takut kalau Fiendra bilang aku naksir Rendra. Nggak mungkin saja sikap Rendra jadi dingin seperti itu pada Elin, pacar barunya.
“Apa yang kau katakan padanya, Fien?”
“Ya tentang yang ku ucapkan tadi…” kata Fiendra mengambil tasnya. “udah ya aku pamit. Ini sudah siang, keburu dicari nanti aku sama mama… duluan ya!”
“ehm..”
“Jey, bener kan omonganku?” tanya nya pada Jey.
“Iya… Dah lama lagi Chyntia naksir Rendra… kudet kau Fien…”
“Astaga, Chyntia…” Katanya lagi. “Kayaknya kembaranku banyak fansnya deh…”
“Tuuh lihat.. kau bakal punya banyak saingan…” kata Jey.
“Fiendra?” panggil Rendra berdiri di depan kami. “Eh ada Jey daaann Chyntia juga…”
“Ren, sekarang aku tanya deh, kayaknya kamu pernah bilang punya cinta pertama dan kau bilang kalau cintamu itu bertepuk sebelah tangan. Iya kan?” tanya Fiendra.
“Lhah, kok tanya nya gitu?” muka Rendra memerah.
“Iya kan? Siapa cewek itu? Aku ingin tahu aja…” muka Rendra makin merah.
“Cieeh Rendra…” Kata Jey.
“Giliran Fiendra nanya seperti itu kau malah tersipu malu.” Kataku yang pura-pura tak ada perasaan apapun padanya.
“Maaf, Jey, Chyn…” kata Rendra. “Ikut aku sebentar Fien!”
“Ada apa harus menghindar dari mereka? Apa jangan-jangan first lovemu itu…” kata Fiendra.
“Ren! Aku cari ternyata kau disini…” kata Elin.
“Bentar ya, Lin.” Kata nya. “Ya, jelas ada hubungannya dengan mereka. Nanti saja di rumah.”
“Oke aku paham…”
“Ren, ini lho aku bawakan kamu masakan mamaku. Cobain deh pasti enak!” kata Elin sembari berjalan bersama Rendra dan Fiendra ke tangga tempatku dan Jey.
“Oh ya.” Katanya yang mulai mendingin.
Aku jadi curiga ada sesuatu yang dikatakan Fiendra pada Rendra. Aku takut kalau Fiendra bilang aku naksir Rendra. Nggak mungkin saja sikap Rendra jadi dingin seperti itu pada Elin, pacar barunya.
“Apa yang kau katakan padanya, Fien?”
“Ya tentang yang ku ucapkan tadi…” kata Fiendra mengambil tasnya. “udah ya aku pamit. Ini sudah siang, keburu dicari nanti aku sama mama… duluan ya!”
—
“Haahh!” Rendra melempar tasnya di sofa lalu menjatuhkan tubuhnya di samping tasnya itu.
“Kenapa?” tanya Fiendra mengambil minum di samping sofa tempat Rendra duduk.
“Nggak papa.”
“Oh ya katanya kamu mau nyebutin siapa cewek first lovemu..” katanya sambil meneguk air putih.
“hahaha, mendesak banget ya kayaknya?” kata Rendra menegakkan tubuhnya. “Oke aku ngomong deh…”
“Nahh gitu!” kata Fiendra duduk di samping Rendra.
“First love ku ituuu… Chyntia.” Mukanya jadi semerah si Koli, ikan koi peliharaanku di kolam.
“Whaatt?” kata Fiendra. “tapi kau masih cinta nggak sama Chyntia?”
“Gimana ya? Kalo dibilang cinta ya jelas masih…”
“Lalu kenapa kamu milih Elin?”
“Dulu papa pernah bilang padaku, Chyntia itu nggak cocok denganku. Papa nggak suka sama cewek tomboy. Cewek yang penampilannya berantakan. Dan satu lagi, papa nggak suka kalau aku dapet cewek yang keluarganya broken home.” Kata Rendra. “Jadi saat Elin muncul pertama kali bersama Jey dan Chyntia untuk bertemu denganmu, papa mulai suka dengan Elin.”
“Aduuh, kau nggak tahu ya gimana perasaan Chyntia?”
“Ah paling dia juga nggak peduli. Wong Jey itu naksir sama Chyntia juga. Jadi aku nggak mau nikung Jey.”
“Nggak mau nikung?” tanya Fiendra. “kalau kau nggak mau nikung, kenapa kau biarkan Elin nikung sahabatnya?”
“Elin nikung Chyntia? Kok bisa?” Rendra mulai lemot.
“Aduuh, Rendra yang juara satu parallel kok jadi bolot banget siih?” sahut Fiendra. “Chyntia barusan tadi bilang kalau dia akan mengakhiri persahabatannya dengan Elin karena Elin sudah nikung dia. Chyntia suka kamu, Rendra…”
“Yakin kamu, Fien? Chyntia suka pada Stephanus Almarendra Susanto ini?”
“Jelas lah… masa Stephania Givendra Susanto, kembaranmu bohong? Hello? Bohong bukan tipeku keles!”
“Oh my God!” Rendra menepuk dahinya dan menegadah. “Gila… Gila bener gua!”
“Sekarang loe mau gimana? Putusin Elin lalu jadian sama Tia? Atau tetep lanjut sama dia dan biarin Elin nikung Tia?” tanya Fiendra. “Segera ambil keputusanmu, Rendra!” Fiendra pergi dari samping Rendra.
“Kenapa?” tanya Fiendra mengambil minum di samping sofa tempat Rendra duduk.
“Nggak papa.”
“Oh ya katanya kamu mau nyebutin siapa cewek first lovemu..” katanya sambil meneguk air putih.
“hahaha, mendesak banget ya kayaknya?” kata Rendra menegakkan tubuhnya. “Oke aku ngomong deh…”
“Nahh gitu!” kata Fiendra duduk di samping Rendra.
“First love ku ituuu… Chyntia.” Mukanya jadi semerah si Koli, ikan koi peliharaanku di kolam.
“Whaatt?” kata Fiendra. “tapi kau masih cinta nggak sama Chyntia?”
“Gimana ya? Kalo dibilang cinta ya jelas masih…”
“Lalu kenapa kamu milih Elin?”
“Dulu papa pernah bilang padaku, Chyntia itu nggak cocok denganku. Papa nggak suka sama cewek tomboy. Cewek yang penampilannya berantakan. Dan satu lagi, papa nggak suka kalau aku dapet cewek yang keluarganya broken home.” Kata Rendra. “Jadi saat Elin muncul pertama kali bersama Jey dan Chyntia untuk bertemu denganmu, papa mulai suka dengan Elin.”
“Aduuh, kau nggak tahu ya gimana perasaan Chyntia?”
“Ah paling dia juga nggak peduli. Wong Jey itu naksir sama Chyntia juga. Jadi aku nggak mau nikung Jey.”
“Nggak mau nikung?” tanya Fiendra. “kalau kau nggak mau nikung, kenapa kau biarkan Elin nikung sahabatnya?”
“Elin nikung Chyntia? Kok bisa?” Rendra mulai lemot.
“Aduuh, Rendra yang juara satu parallel kok jadi bolot banget siih?” sahut Fiendra. “Chyntia barusan tadi bilang kalau dia akan mengakhiri persahabatannya dengan Elin karena Elin sudah nikung dia. Chyntia suka kamu, Rendra…”
“Yakin kamu, Fien? Chyntia suka pada Stephanus Almarendra Susanto ini?”
“Jelas lah… masa Stephania Givendra Susanto, kembaranmu bohong? Hello? Bohong bukan tipeku keles!”
“Oh my God!” Rendra menepuk dahinya dan menegadah. “Gila… Gila bener gua!”
“Sekarang loe mau gimana? Putusin Elin lalu jadian sama Tia? Atau tetep lanjut sama dia dan biarin Elin nikung Tia?” tanya Fiendra. “Segera ambil keputusanmu, Rendra!” Fiendra pergi dari samping Rendra.
Langit kekuningan indah menemani perjalananku ke rumah Jey. Sore ini kami akan hangout bareng. Bertiga. Kami kumpul di rumah Jey.
Tatapanku tajam. Mataku terbelalak. Tawa bahagianya serasa ia tak tahu bahwa ada aku di sini. Canda guraunya memperlihatkan bahwa ia tak mengerti rasanya sakit hati. Elin…
“Eeh, Tia dah datang!” kata Fiendra.
“Lhah sama Fiendra dan Rendra juga, Jey?” tanyaku.
“Iya, Fiendra ikut juga. Apalagi Rendra…” kata Elin. Aku hanya terdiam.
“Kumel amat mukamu, Tia!” kata Rendra.
“Haha! Iya Tia. Mukamu bagaikan cucian di laundry nya Bu Nia!” kata Jey.
“Hiih! Apaan sih kalian.”
“Sudah, sudah. Mending langsung aja kita jalan!” kata Fiendra.
“Oke. Lets go!” kataku.
Tatapanku tajam. Mataku terbelalak. Tawa bahagianya serasa ia tak tahu bahwa ada aku di sini. Canda guraunya memperlihatkan bahwa ia tak mengerti rasanya sakit hati. Elin…
“Eeh, Tia dah datang!” kata Fiendra.
“Lhah sama Fiendra dan Rendra juga, Jey?” tanyaku.
“Iya, Fiendra ikut juga. Apalagi Rendra…” kata Elin. Aku hanya terdiam.
“Kumel amat mukamu, Tia!” kata Rendra.
“Haha! Iya Tia. Mukamu bagaikan cucian di laundry nya Bu Nia!” kata Jey.
“Hiih! Apaan sih kalian.”
“Sudah, sudah. Mending langsung aja kita jalan!” kata Fiendra.
“Oke. Lets go!” kataku.
Aku hanya diam. Diam memandangmu, Rendra. Aku rindu kita bisa bahagia. Seperti dulu, minimal. Aku nggak ingin ada permusuhan terselubung dalam persahabatanku dan Elin.
“Kenapa kau, Chyntia? Dari tadi diem aja? Ayolah ikut main bareng kita.” kata Rendra mendekati dan duduk di sampingku.
“Nggak ada apa-apa, Ren. Aku hanya lihat kamu dan Elin. Seneng rasanya sahabatku udah jadian…” kataku tersenyum. “Apalagi sama temen lamaku, Rendra…”
“Kau ini…”
“Kamu kok bisa di sini? Mana Elin?” tanyaku.
“Lagi ke toilet sama Fiendra.” jawabnya.
“Kenapa kau, Chyntia? Dari tadi diem aja? Ayolah ikut main bareng kita.” kata Rendra mendekati dan duduk di sampingku.
“Nggak ada apa-apa, Ren. Aku hanya lihat kamu dan Elin. Seneng rasanya sahabatku udah jadian…” kataku tersenyum. “Apalagi sama temen lamaku, Rendra…”
“Kau ini…”
“Kamu kok bisa di sini? Mana Elin?” tanyaku.
“Lagi ke toilet sama Fiendra.” jawabnya.
Perhatian, perhatian! Bagi para pengunjung segera amankan diri. Ada lima pria yang menyerang mall ini dengan senjatanya. Segera bagi Anda yang ada di area cinema dan food court untuk melindungi diri Anda.
DOR! DOR!
“Aaa!”
Suara dentuman berkali-kali kudengar. Teriakan orang-orang yang mengacaukan keberasamaan kami yang hendak ke cinema. Beberapa pria gagah dan berpenampilan lumayan mendekatkan pistolnya ke arah orang-orang.
“Ayo kita sembunyi!” kata Elin berlari saat pria-pria itu mendekati kami.
“Rendra!” kataku memeluk Rendra yang di dekati salah satu pria itu. Dan… DOORR!!!
“Kau… pura-pura… mati… ku… mohon…” pintaku. Darah mengalir dari kepalaku yang sudah terkena tembakan. Meski Elin, Jey dan Fiendra tak tahu ada di mana. Aku kehilangan jejak mereka.
“Chyntia…” Rendra mengikuti kataku dengan terpaksa. Aku hanya menahan rasa sakit ini sambil masih memegang tangan Rendra. Sampai akhirnya aku tak tahu apa yang terjadi selanjutnya.
“Aaa!”
Suara dentuman berkali-kali kudengar. Teriakan orang-orang yang mengacaukan keberasamaan kami yang hendak ke cinema. Beberapa pria gagah dan berpenampilan lumayan mendekatkan pistolnya ke arah orang-orang.
“Ayo kita sembunyi!” kata Elin berlari saat pria-pria itu mendekati kami.
“Rendra!” kataku memeluk Rendra yang di dekati salah satu pria itu. Dan… DOORR!!!
“Kau… pura-pura… mati… ku… mohon…” pintaku. Darah mengalir dari kepalaku yang sudah terkena tembakan. Meski Elin, Jey dan Fiendra tak tahu ada di mana. Aku kehilangan jejak mereka.
“Chyntia…” Rendra mengikuti kataku dengan terpaksa. Aku hanya menahan rasa sakit ini sambil masih memegang tangan Rendra. Sampai akhirnya aku tak tahu apa yang terjadi selanjutnya.
Beberapa jam kemudian. Rendra berjalan mondar-mandir di depan UGD. Mukanya sangat cemas.
“Ren…” kata Ce Evrita, kakak dari Rendra yang juga adalah kakak pembimbing di gerejaku.
“Gimana Chyntia, Ce?” tanya Rendra.
“Cintanya padamu luar biasa, Ren. Meski Chyntia baik-baik saja, peluru sudah Cece ambil. Namun, kondisinya masih sangat lemah. Chyntia koma.” jawabnya. “Sebagai dokter, Cece salut banget dengan nyali Chyntia.”
“Rendra!!!” panggil Elin dengan tangan yang digendong dan dengan kursi roda yang di dorong oleh Fiendra.
“Puji Tuhan, kau baik-baik saja, Ren!” kata Jey.
“Lalu mengapa kau sedih di depan UGD?” tanya Fiendra.
“Oya, mana Chyntia?” tanya Jey.
“Dia…” Rendra menangis.
“kenapa?”
“Fien… Chyntia ada di dalam.” kata Ce Evrita.
“Chyntia terluka? Tapi dia hanya luka ringan kan?” tanya Jey.
“Iyalah. Pastinya kan Ce? Aku yakin.” kata Elin.
“Nggak, Lin…” sahut Rendra.
“Apa maksudmu nggak, Ren?” tanya Fiendra.
“Tia koma. Kepalanya kena peluru karena menolongku…”
Semua diam. Suasana sunyi sejenak. Mereka saling tatap. Rasanya sahabat-sahabatku itu tak percaya. Rendra menangis dalam pelukan Ce Evrita.
Tak lama. Kedua orangtua Rendra pun datang. Semua kejadian diceritakan oleh Rendra. Ce Evrita menambahkan. Om Markus kini sadar akan besarnya cintaku pada putranya, Rendra. Memang aku berantakan. Namun kalau kalian mengenalku dengan sangat baik, aku tidak seburuk yang kalian kira.
“Ren…” kata Ce Evrita, kakak dari Rendra yang juga adalah kakak pembimbing di gerejaku.
“Gimana Chyntia, Ce?” tanya Rendra.
“Cintanya padamu luar biasa, Ren. Meski Chyntia baik-baik saja, peluru sudah Cece ambil. Namun, kondisinya masih sangat lemah. Chyntia koma.” jawabnya. “Sebagai dokter, Cece salut banget dengan nyali Chyntia.”
“Rendra!!!” panggil Elin dengan tangan yang digendong dan dengan kursi roda yang di dorong oleh Fiendra.
“Puji Tuhan, kau baik-baik saja, Ren!” kata Jey.
“Lalu mengapa kau sedih di depan UGD?” tanya Fiendra.
“Oya, mana Chyntia?” tanya Jey.
“Dia…” Rendra menangis.
“kenapa?”
“Fien… Chyntia ada di dalam.” kata Ce Evrita.
“Chyntia terluka? Tapi dia hanya luka ringan kan?” tanya Jey.
“Iyalah. Pastinya kan Ce? Aku yakin.” kata Elin.
“Nggak, Lin…” sahut Rendra.
“Apa maksudmu nggak, Ren?” tanya Fiendra.
“Tia koma. Kepalanya kena peluru karena menolongku…”
Semua diam. Suasana sunyi sejenak. Mereka saling tatap. Rasanya sahabat-sahabatku itu tak percaya. Rendra menangis dalam pelukan Ce Evrita.
Tak lama. Kedua orangtua Rendra pun datang. Semua kejadian diceritakan oleh Rendra. Ce Evrita menambahkan. Om Markus kini sadar akan besarnya cintaku pada putranya, Rendra. Memang aku berantakan. Namun kalau kalian mengenalku dengan sangat baik, aku tidak seburuk yang kalian kira.
Angin pagi ini bertiup sangat kencang. Oh hai teman. Hari ini aku sudah menyelesaikan tugasku di SMP. Dan hari inilah hari terakhirku berada dalam kelas yang menyenangkan ini. Aku duduk di taman dekat kelasku. Masih dengan kepalaku yang dibalut dengan perban.
“Chyn!” panggil Elin.
“Ada apa? Sini duduk bareng. Oya, gimana hubunganmu dengan Rendra?”
“Tidak lagi, Chyn!” katanya. “Maafkan aku. Selama ini aku nggak sengaja dan nggak maksud untuk nikung kamu.”
“Halah, apa sih maksudmu? Rendra kan pacarmu…”
“Aku sadar kamu sangat mencintai Rendra. Aku sudah sepakat dengannya. Kami telah putus.” sambungnya. “Aku ingin kalianlah yang bahagia…”
“Aduh… Elin. Ngga masalah. Aku juga sadar kok kalau marahan sama sahabat sendiri bakalan hancurin hubungan persahabatan. Meski sakit hati, aku belajar untuk memaafkanmu.”
Persahabatan kami pun kembali membaik. Bukan cuma itu. Di SMA aku, Elin, Jey, Rendra dan Fiendra satu sekolah. Kami menjadi sahabat yang sangat akrab dan saling mendukung.
“Chyn!” panggil Elin.
“Ada apa? Sini duduk bareng. Oya, gimana hubunganmu dengan Rendra?”
“Tidak lagi, Chyn!” katanya. “Maafkan aku. Selama ini aku nggak sengaja dan nggak maksud untuk nikung kamu.”
“Halah, apa sih maksudmu? Rendra kan pacarmu…”
“Aku sadar kamu sangat mencintai Rendra. Aku sudah sepakat dengannya. Kami telah putus.” sambungnya. “Aku ingin kalianlah yang bahagia…”
“Aduh… Elin. Ngga masalah. Aku juga sadar kok kalau marahan sama sahabat sendiri bakalan hancurin hubungan persahabatan. Meski sakit hati, aku belajar untuk memaafkanmu.”
Persahabatan kami pun kembali membaik. Bukan cuma itu. Di SMA aku, Elin, Jey, Rendra dan Fiendra satu sekolah. Kami menjadi sahabat yang sangat akrab dan saling mendukung.
“Itulah cerita persahabatan kami, Nak!” kataku pada Jeasie, Alda, Tasya, Verdinan. Keempat anak kami juga bersahabat. Kami harap persahabatan mereka tak ada masalah tikung menikung seperti orangtuanya.
“True friends not only accept who you are, but also help you became who you should be.”
Cerpen Karangan: Eunike Fany Febriliany
Facebook: Fanny Eunike Febrilia
Facebook: Fanny Eunike Febrilia
Cerita Persahabatan dan Cinta merupakan cerita pendek karangan Eunike Fany Febriliany, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.
"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"
JANGAN LUPA LIKE....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar