Sabtu, 03 Desember 2016

Setitik Harapan

Judul Cerpen Setitik Harapan
Cerpen Karangan: 
Kategori: Cerpen Cinta SegitigaCerpen Remaja
Lolos moderasi pada: 5 November 2016
Kepergian memang menyakitkan tapi terkadang harus dilakukan untuk membiarkan kebahagiaan datang.
Aku, seorang gadis berjilbab, seorang gadis sederhana yang menginginkan cinta dan kasih sayang yang sederhana pula. Aku berasal dari keluarga kaya tapi hidupku seakan seperti mereka yang ada di luar sana, aku mempunyai saudara kembar Yusriana, ya, wajahnya sangat mirip denganku tetapi tidak dengan kehidupannya, kehidupannya sempurna bahkan terlalu sempurna menurut saya. Mengapa tidak? Apa yang dibutuhkannya selalu ada dan akan selalu dipehuni.
Setiap pulang sekolah makanan siangku adalah omelan dari seorang ayah sehingga membuatku sangat tertekan. Sejak aku menyadari bahwa omelan itu hanya sekedar omelan bahkan aku tidak pernah melakukan semua kesalahan yang membuat ayah marah. Lama aku berpikir, tidak ada salahnya jika apa yang dikatakannya tentangku aku lakukan, dia yang mengajariku melakukan hal ini. Sangat jarang aku pulang sebelum Ashar. Ya, aku selalu menghabiskan waktuku di pinggir danau, melempar batu dan termenung.
“Yusriani kamu darimana saja?” gertak sang ayah
“Dari danau ayah”. Setelah menjawabnya dengan sangat sopan menurutku. Ayahku lalu melempariku Koran yang sedang ia baca.
“Dasar, gadis pemalas, kau tahu ibu dan adikmu sangat bekerja keras hari ini, sedangkan kau, selalu ke tempat itu”. perkataan itu sudah menjadi makanan sehari-hariku, jadi aku hanya berkata
“Maaf, ayah” lalu berjalan menuju kamarku.
Sampai di dalam kamar, aku langsung merebahkan tubuhku di atas kasur dengan posisi telantang, aku menutup mataku dan mendengarkan musik dengan suara yang sangat keras, agar aku tidak mendengar tawa mereka bertiga.

Lagi dan lagi, hari ini kelasku kedatangan siswa baru, akhir-akhir ini banyak yang berminat dengan sekolah kami. Siswa baru dan itu orang pertama yang menarik perhatianku. Tapi seorang pengecut tidak akan menjadi seorang pemberani, benarkah?.Di sekolah pun aku hanya diam duduk di bangku deretan belakang. Mungkin semua siswa menganggapku aneh karena diriku bahkan sudah lupa kapan terakhir kali aku tersenyum dan bagaimana cara untuk tersenyum. Bahkan aku sangat malas memikirkan hal yang menyenangkan. Hidupku benar-benar menyedihkan.
Tapi, mungkin Allah punya rencana lain dalam hidupku, dia, siswa baru itu masuk dalam hidupku. Hidup yang sangat mengerikan ternyata bisa dimasuki oleh dia manusia yang berhati malaikat. Tapi, sepertinya dia terlalu sempurna untukku, bahkan terlalu sempurna untuk seorang pengecut seperti diriku.
“Yus, kita jadi kan kerja tugas di rumahmu?” suara itu mengembalikanku kembali ke dunia nyata
“Hah? Rumahku?”
“Iya, kita belum pernah belajar bersama di sana. Bolehkan?”
“Tapi… A…ku…”
“Oke, kamu tunggu aku”
Ya, begitulah sikap Fajar selalu melakukan sesuatu yang tidak aku sukai tapi entah kenapa… aku… nyaman di dekatnya. Aku menyukai cara dia tersenyum, cara dia memohon kepadaku dan aku menyukainya. Apa? Apa aku tadi mengatakan bahwa aku menyukainya? Oh tidak. Ini tidak masuk akal.
“Jam berapa dia akan datang?” gumamku dalam hati, aku lupa menanyakan kepadanya. Haishh… bodooh kau Yus.
Ketika bel berbunyi aku langsung membuka pintu kamar, aku berhenti
“Apa yang baru saja aku lakukan?” aku mundur dan menatap diriku dalam cermin. Aku tersenyum? Ini benar-benar lucu, tak lama kemudian suara bel kembali berbunyi, aku segera ke luar dari kamar tapi tiba-tiba ayah menghentikanku
“Kau mau kemana?”
“Buka pintu ayah, sepertinya teman Yus datang”
“Tidak, jangan, ana sudah ada disana, siapa nama temanmu dan untuk apa dia kesini?”
“Sepertinya dia ingin mencari masalah denganku” gumaku dalam hati.
“Fajar, dia kesini untuk belajar bersama ayah”
“Sudah, kau masuk kamarku”
“Tapi ayah…” Ayah lalu mendorongku masuk dan menutupnya.
Dari dalam aku mendengar percakapan mereka
“Owh, ini Fajar ya, silahkan masuk, Yus kenapa tidak menyuruh temanmu masuk?”
Pasti saat ini ekspresi wajah Ana sangat bingung, aku sangat hafal wajahnya itu.
“Eh.. maaf ayah, silahkan masuk Fajar”
“Kau kesini untuk belajar bersama Yus?”
“Iya om”
“Hari ini kita tidak usah belajar Fajar, aku sangat bosan belajar, mending kita ngobrol saja”
Suara Ana benar-benar membuat telingaku panas,
“Haish… anak itu…”
“Hah? Kau bisa berbicara seperti itu? di luar dugaanku. Okelah”
“Kalau begitu, ayah tinggal dulu ya” jawabnya dan sepertinya dia meninggalkan mereka berdua.
Senyuman yang baru dimulai ternyata telah hancur kembali sebelum berkembang. Hidupku benar-benar menyedihkan. “Hmm… Mungkin akan lebih baik jika aku mengiriminya BBM.. eh.. tidak… aku akan mati jika itu terjadi” gumamku dalam hati.
Baiklah sepertinya aku akan mendengar mereka saja dari sini.
“Kamu, tumben tidak ingin belajar”
“Hehehe.. entahlah akhir-akhir ini aku sangat malas belajar”
“Hah?.. kau tersenyum/ ini pertama kali aku melihatmu tersenyum seperti ini”
Perkataan Fajar benar-benar membuatku tertarik untuk mengintip mereka dari celah pintu kamarku.
“Benarkah?”
“Iya. Kau sangat cantik jika seperti itu setiap hari”
“Kau sangat berbeda hari ini Yus” lanjutnya.
Aku benar-beanr tidak berniat untuk tersenyum mendengar percakapan mereka. Aku lalu menutup pintu kamarku,
“Sepertinya tidak ada manfaatnya mendengarkan pembicaraan mereka”.
Aku lalu mengambil buku geografi dan mulai mengerjakan tugas, sesekali aku mendengar tawa mereka benar-benar tidak bisa membuatku konsentrasi. Ini benar-benar menyebalkan aku lalu menyetel musik sangat keras, ini lebih baik, dibanding dengan mendengar tawa mereka.
Perasaan apa ini? Mungkinkah ini yang namanya perasaan cemburu?
Ketika kita terbang sangat tinggi dan tiba-tiba terjatuh ternyata itu sangat sakit. Hahaha… tentu saja. Ya, kembali seperti biasa, belajar untuk sendiri lagi. Hal yang aku lakukan di dalam kelas selain belajar adalah bernyanyi, bernyanyi dengan suara yang sangat kecil sambil menghadap ke luar jendela.
“Betapa aku mencintaimu” ya, lagu vagetoz ini, lagu yang setiap hari aku nyanyikan tanpa bosan.
“Pagi Yus, kamu menyanyikan lagu itu lagi?” tanyanya sambil duduk di sampingku
“lagi? Kau pernah mendengar aku bernyanyi?”
“Iya, setiap hari dengan nyanyian yang sama” jawabnya mengambil buku yang ada dalam tasnya.
Aku tak menjawabnya karena aku tidak tahu harus menjawab apa. Aku lalu menyodorkan buku tugas geografiku yang telah aku kerjakan kemarin.
“Ini. Maaf, kemarin tidak kita kerjakan”
“Iya, lagian kamu menyenangkan juga ya, diajak ngobrol, walaupun sedikit terlalu…” Dia menggantung perkataannya.
“Terlalu centil” jawabku sibuk mengambil buku yang ada dalam laciku
“Heh?”
“Iya, kemarin itu terlalu centil. Maaf”
“Apa kau tidak bisa membedakanku dengan Ana? Kau bodoh atau…” Gumamku dalam hati.
“Hey, kau melamun?”. Aku tak menjawabnya, aku hanya menatapnya sejenak lalu kembali melihat ke arah jendela
“Kemarin kau sangat berbeda dengan hari ini dan hari-hari sebelumnya. Hari ini kau kembali pada dirimu seperti pertama kali aku mengenalmu. Kemarin kau seperti orang lain tapi dengan wajah yang sama. Kemarin kau sangat ceria tak ada tanda-tanda bahwa kau saat itu sedang tertekan tak seperti wajahmu saat ini. Yusriani, lebih baik kau seperti kemarin, walaupun aku menganggapmu berbeda, tapi nantinya aku akan terbiasa dengan sikap itu”. perkataan Fajar benar-benar membuatku tercengang, melihat wajahnya yang benar-benar serius mengatakan hal itu, membuat hatiku terasa sesak, apa yang aku rasakan saat ini? Ah, entahlah aku juga tidak tahu.
Dia melanjutkan perkataannya “Dan juga kau di sekolah kau sangat tidak ingin disentuh oleh laki-laki karena bukan muhrim lalu kemarin ketika kita jalan-jalan kau selalu menggandeng tanganku”
“Hah? Aku”
“Haish… Ana benar-benar tidak punya harga diri”. dia benar-benar membuatku malu saat ini.
Hari ini hari libur, hari yang ditunggu-tunggu oleh semua pelajar, aku berencana untuk mengunjungi Café tempat temanku bekerja. Ketika aku menuju ke dapur untuk mengambil air minum tiba-tiba, aku tersendak mendengar pernyataan Ana
“Apa? Jadi kau sudah pacaran dengan Fajar?”
“iya ma, seminggu yang lalu”
Seminggu yang lalu?, astaga, pantas saja sikap Fajar berbeda, ternyata dia telah jadian sama Ana. Dia benar-benar bodoh.
“Mama, ayah, aku akan ke Café”
“Café lagi? Tidak, kamu jangan pergi”
“Tapi…”
“Tok.. tok.. Assalamu alaikum”
Aku menoleh suara itu dan akan membuka pintu, tapi Ana menghentikanku
“Jangan! Itu Fajar” Jawab Ana kaget.
“Kau masuk ke kamarmu, cepat” jawab Ana lagi.
Aku terlalu lemah untuk membantah mereka, aku pun hanya menurutinya, sampai dalam kamar, aku hanya memandang diriku dalam cermin.
“Ada apa dengan dirimu Yus? Kau menangis lagi, benar-benar cengeng”. Kataku menertawakan diri sendiri. Sepertinya pilihanku saat ini adalah pergi dari kehidupan mereka. Ya, aku akan pergi, mungkin setelah aku pergi, kebahagiaan akan datang di rumah ini.
Aku lalu memasukkan bajuku ke dalam tas lalu kabur lewar jendela. Mungkin ini sangat kekanak-kanakan pada usiaku sekarang, tapi itu jalan terakhirku. Di halaman rumah, aku melihat mereka sedang tertawa dan sepertinya Ana melihatku, aku hanya melambaikan tangan padanya lalu tersenyum “Selamat tinggal kembarku” kataku menggerakkan bibir tanpa suara.
“Dilihat dari tasmu, sepertinya kau kabur dari rumah” kata temanku Sindi
“Bingo. Kau benar sekali. Saat ini aku butuh pekerjaan”
“Pekerjaan? Apakah kau bisa bermain gitar?”
“Tentu, kenapa?”
“Bagus, kau bisa bekerja di sini, Manajerku saat ini sedang mencari orang yang bisa bernyanyi di atas sana” jawabnya sambil menunjuk panggung kecil yang masih kosong.
“Benarkah?”
“Iya, aku akan mengatakannya pada Manajer dulu”
“Baiklah aku tunggu”
Setelah Sindi pergi, aku lalu membuka BBMku dan mengirimi Fajar untaian kata, aku akan menerima resikonya, mungkin Ana telah berbohong lagi kepada Fajar bahwa BBMnya dia ganti karena akhir-akhir ini dia tidak mengirimiku BBM lagi.
“Kau bodoh”
“Kepergian memang menyakitkan, tapi terkadang harus dilakukan untuk membiarkan kebahagiaan datang. Sayounara?”
Ya, sebuah kata perpisahan yang sangat bagus, tak lupa aku mengirimi Ana juga. Terserah peduli atau tidak, tidak jadi masalah buatku lagi.
“Yus, kau diterima, sekarang kau boleh tampil”
“Hah? Sekarang dengan pakaian seperti ini?”
“Tidak apa-apa, ayo naik!”
Aku pun perlahan menuju panggung kecil itu dan memperkenalkan diri. ketika aku akan memetik gitar, mataku terbelalak menatap 2 insan yang baru saja datang “Fajar dan Ana? Kenapa mereka kesini?” Aku lalu mencari Sindi dan member kode agar dia menoleh ke arah pintu. Diapun menurut dan tidak kalah kagetnya. Aku melihat dia mengetik sesuatu di layar ponselnya tak lama kemudian ponselku berbunyi “Abaikan mereka. Ini kesempatanmu untuk bekerja disini, jangan sia-siakan”
“Baiklah, perkataan Sindi memang benar”.
Aku lalu mulai memainkan gitarku dan sepertinya Ana melihatku, matanya terbelalak, aku hanya balas menatapnya, dia langsung memandang Fajar yang sedang membelakangiku, dia berusaha basa basi sepertinya, agar Fajar tidak menoleh kepadaku. Aku pun mulai menyanyikan sebuah lagu “izinkan aku mencintaimu” setelah itu lagu favoritku “Betapa aku mencintaimu”. Sebenarnya ada sedikit perasaan atau mungkin sedikit harapan yaitu Fajar mengenali suaraku. Aku pun mulai menyanyikan lagu itu dengan sangat menghayati setiap lariknya. Sampai aku membuka mataku kembali ternyata Fajar telah menihatku.
“Apa yang harus aku lakukan?”
“Santai saja Yus, semuanya akan baik-baik saja” gumamku.
Aku lalu terun dari panggung dan berjalan ke mejaku sebelumnya dan mengambil tasku lalu berpamitan kepada Sindi “Terima kasih ya, aku pergi dulu, sepertinya atmosfer disini tidak enak”
“Hmm.. hati-hati”. Sempat aku melirik Ana dan Fajar dan ternyata dia masih memandangiku, aku pun mempercepat langkahku untuk ke luar dari atmosfer yang menyeramkan ini, tetapi setelah aku ke luar, tak jauh dari tempatku berdiri, Fajar memanggilku “Hey…”
“Astaga, apa yang harus aku lakukan?”. Akupun menoleh dan menunjuk diriku sendiri
“Aku?”
“Fajar dan Ana lalu mendekatiku.
“Kamu siapa?”
“Aku?”
“Iya”
“Aku siapa?” tanyaku pada Ana. Ana kaget, dia tidak tahu apa yang harus dia katakan saat ini. Dia masih terdiam sampai dia tersenyum lega sambil melihat di belakangku, aku pun menoleh ke belakang dan langsung mendapat tamparan pertama dari seorang ibu. Ini benar-benar tamparan pertama yang membuat sudut bibirku mengeluarkan darah.
“Ma…ma”
“Kamu benar-benar anak tak berguna”
Aku hanya dia mendengar omelan mamaku itu, aku terlalu malu untuk menjawabnya. Fajar menyaksikan semuanya, aku terlalu malu untuk menegakkan kepalaku seperti biasanya, yang aku inginkan saat ini adalah pergi dari mereka semua “maaf” hanya kata itu yang ada dalam fikiranku, aku pun berlari sejauh mungkin dari mereka semua.
“Hey, kau mau kemana?” teriak mamaku. Akhirnya Fajar mengerti semuanya.
“Yusriani, tunggu” teriak Fajar. Aku tidak menggubris teriakannya. Aku hanya berlari dan menjauh dari keadaan ini.
“Yusriani, tunggu” teriak Fajar dan akan mengejar Yus.
“Fajar, kau mau kemana?” Tanya Ana sambil memegang lengan Fajar.
“Pembohong, lepaskan” teriak Fajar lalu melepaskan pegangan Ana dengan keras.
Aku terus berlari sampai tak memperhatikan jalan hingga aku terjatuh karena tersandung akar pohon.
“Yus, kau tidak apa-apa?”
“Hiks… hiks… hiks…”
“Maafkan aku”
“Maaf”. Ya, Fajar saat ini sedang membersihkan darah yang sudah mongering di sudut bibirku. Sebenarnya aku sangat keberatan, tapi itulah Fajar.
“Aku bodoh kan?” tanyanya yang masih serius mengobati lukaku
“Hah?”
“Ya, bodoh karena tidak bisa membedakanmu”
“Ya, kau benar-benar bodoh. Bahkan sangat bodoh”
“Hmm.. Maafkan aku, kalau begitu kau diamlah dulu, aku sulit mengobati lukamu jika ka uterus berceloteh” aku tersenyum mendengar perkataannya, ya, senyum kedua kalinya karena Fajar.
“Baiklah”
Saat ini Fajar sangat serius mengobati lukaku, aku pun sangat serius mengamati wajahnya yang tidak jauh dari wajahku. Walaupun aku tahu bahwa ini dosa, tapi godaan syaitan benar-benar membuatku tak sadar Astagfirullahhal adzim. Maafkan aku ya Allah.
“Ada apa? Kenapa menatapku seperti itu” tanyanya ketika dia telah selesai mengobati lukaku.
“Tidak ada, hanya saja…” tiba-tiba tanpa sadar tanganku bergerak sendiri dan merapikan rambutnya yang sedikit acak-acakan, ini benar-benar diluar pikiranku.
Fajri pun sedikit terkejut dengan perlakuanku, tiba-tiba jiwaku kembali pada ragaku, aku lalu melepaskan tanganku dari rambutnya.
“Astagfirullah, maaf” kataku padanya dengan wajah merah padam.
“Haishh.. memalukan” gumamku dalam hati.
“Hahaha… wajahmu kenapa?” Tanya berusaha mengembalikan suasana yang tegang.
“Haishh… Fajar”
Kebahagiaan bisa saja akan datang ketika kita mencari kondisi dan situasi yang baru, bisa dikatakan berhijrah, tapi ya, hanya Allah yang akan menentukannya. Terkadang ketika seseorang masuk dalam hidup kita, kebahagiaan pun akan menyusulnya, tapi jika Allah yang menghendakinya.
Terkadang Allah tidak memberikan apa yang kita inginkan karena Dia tahu ada hal yang lebih baik untuk kita.
END
Cerpen Karangan: Adibah Y2R
Blog: catatanxyz.blogspot.com
Cerita Setitik Harapan merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.
"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar